Belakangan ini muncul fenomena geng motor di kalangan anak muda, khususnya remaja kita. Meskipun sama sekali bukan hal baru, namun geng motor mencuat ke publik berkenaan dengan isu dan praktek kekerasan yang lekat dengannya.
Sebenarnya bila remaja berkumpul dan berkelompok, itu merupakan hal yang lumrah. Masalahnya adalah ketika berkumpulnya mereka itu mengarah pada hal yang destruktif. Sebagaimana lazimnya manusia, kalangan remaja juga membutuhkan komunitas untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka akan merasa nyaman untuk berkomunikasi dengan sesama, dalam artian usia yang sama lebih-lebih dengan kecenderungan dan hobi yang sama pula. Interest yang sepadan akan menguatkan jalinan serta ikatan emosional antarsesama anggota yang berada dalam satu grup.
Geng motor dan geng-geng remaja lain pada awalnya merupakan jawaban nyata dari kebutuhan kaum remaja atas wadah komunikasi antarsesama tadi. Remaja-remaja yang punya back ground sama: memiliki sepeda motor dan suka ber-?motor ria'. Pada perkembangannya, setelah mereka berkumpul dalam sebuah geng, mereka akan mengisi perkumpulan itu dengan aktivitas. Di sinilah masalah mulai muncul. Pemilihan terhadap aktivitas apa yang akan dijadikan materi kelompok akan menentukan bagaimana warna geng itu ke depan. Tidak semua geng motor mempunyai tujuan baik, atau bahkan jangan-jangan ada geng motor yang memang mempunyai tujuan tidak baik semenjak awalnya.
Lebih parah lagi, bila tujuan yang kurang atau tidak baik itu memang telah ditetapkan dan disepakati bersama anggota geng untuk dilaksanakan. Patut diduga, remaja-remaja memilih geng motor sebagai saluran organisasinya karena organisasi-organisasi remaja yang sudah establish barangkali tidak mampu untuk mewadahi mereka. Atau lebih dari itu, organisasi bersegmen remaja tidak bisa menjangkau dan melayani kebutuhan mereka. Remaja adalah masa di mana mereka membutuhkan wadah untuk berapresiasi dan berekspresi. Sepanjang organisasi remaja tidak mampu memenuhi itu, maka ia akan ditinggalkan. Menurut psikologi perkembangan, kebanyakan anak remaja belum punya pikiran jauh dan panjang.
Mereka lebih suka memikirkan hal-hal yang dekat, terjangkau dan berbau senang-senang atau fun. Hal itu masih wajar bila mereka tidak terjerembab pada pilihan-pilihan yang jelas-jelas negatif. Remaja memang memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia dewasa dan orang tua.Yang diperlukan adalah kontrol dan pengarahan mereka untuk selalu berada pada ?jalan yang benar'. Pun kebenaran itu tidak harus diperspektifkan sebagai hal yang kaku dan tidak berwarna. Biarlah remaja tetap berada dalam dunia keremajaan dan keceriannya, sepanjang dalam batasan yang tidak kebablasan (musrif). Toh, remaja pada dasarnya juga mempunyai naluri sehatnya sendiri versi mereka, sungguhpun bagi kalangan tua (yang kolot) kadang banyak hal yang dilakukan remaja hari ini tampak asing, aneh, dan dianggap melanggar.
Remaja adalah pribadi-pribadi yang gelisah. Posisi organisasi remaja seharusnya mampu menjadi ?pelarian' (dalam artian positif) bagi kegelisahan mereka. Para remaja banyak yang merasa kesepian dan membutuhkan pendamping, di luar orangtua dan guru mereka. Apalagi dalam satu kasus ketika orangtua tidak cukup waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anak,dan guru hanya bisa mengajarkan mata pelajaran secara teks book semata. Organisasi remaja semisal Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU),Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Pelajar Islam Indonesia (PII), Remaja Masjid, Karang Taruna, dan sebagainya harus mampu melakukan reorientasi program dan kegiatan yang mempunyai sense kuat terhadap kebutuhan remaja. Kalau ini terpenuhi, maka remaja-remaja kita akan merasa memiliki teman yang mengasikkan namun sekaligus mampu memberikan guidance.
Kegagalan Pendidikan Maraknya geng motor yang bersifat destruktif dilihat dari sudut pandang lain juga merupakan wujud kekagalan dari pendidikan kita. Betapa para pelajar kita tidak cukup hanya diajari mata pelajaran tertentu, atau hanya didorong hanya untuk lulus ujian. Pelajar dan remaja membutuhkan sesuatu yang lebih dari itu: moral dan etika secara practical.
Karenanya, pendidikan harus kembali benar-benar diarahkan untuk tidak sekadar menggenjot capaian-capaian pada aspek kognitif semata, namun harus diseimbangkan dengan aspek afeksi dan psikomotorik. Nilai bagus memang penting, namun tentu tidak hanya itu. Pengajaran dan pemantauan terhadap budipekerti pelajar juga tidak kalah penting untuk dilakukan secara intensif. Bagaimana dengan Ujian Nasional (UN)? UN dalam satu sisi memang mampu memicu siswa untuk belajar. Namun pertanyannya, apakah itu terjadi karena terpaksa atau memang kerelaan. Analisa sementara, pelajar kita cenderung terpaksa. Karena itu mereka merasa stress dan tertekan. Kondisi stress inilah yang kemudian mengarahkan para pelajar dan remaja untuk mencari pelampiasan dan ruang untuk refreshing. Informasi soal kenaikan nilai UN dari mnimal 5 menjadi 5,25 mau tidak mau akan semakin menambah rasa stress itu.
Dan semakin mereka stress, tuntutan dari dalam diri untuk mencari tempat pelarian akan semakin besar. Termasuk penambahan mata pelajaran yang diujikan dari hanya tiga pelajaran menjadi enam pelajaran. Pada sebuah kesempatan auidensi dengan Wapres Jusuf Kalla, kepada penulis beliau menyatakan kegembiraannya akan keberhasilan UN memacu siswa untuk belajar dan terpaksa belajar sehingga tidak punya waktu untuk tawuran dan sebagainya.
Makanya beliau sangat mendukung UN tetap dilaksanakan. Bahkan beliau sampai berucap, "Kalau ada siswa yang sampai bakar sekolah gara-gara UN, maka saya akan bangun sekolah yang lebih bagus lagi". Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya mampu mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan zaman. Kesiapan itu tentu bukan semata pada wilayah capaian nilai formal. Maka sekolah harus mampu melihat dan memperlakukan pelajar sebagai pribadi yang utuh.
Tidak pas kalau sekolah hanya menuntut siswanya untuk belajar dan belajar untuk memenuhi targetan angka-angka. Karena para pelajar harus dikenalkan untuk mempelajari kehidupan yang sesungguhnya. Dus, kondisi terpaksa dan tertekan pelajar tetap berlangsung, maka ini jelas tidak akan menyehatkan. Bagaimana mungkin kondisi tertekan akan melahirkan generasi yang cerdas dan tanggap lingkungan? Kalau hal semacam ini akan tetap dipertahankan, maka kita patut khawatir bila geng motor dengan aura kekerasannya akan semakin marak. Semoga tidak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar