Masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja perempuan di Indonesia masih terabaikan, ini terlihat dari banyaknya kasus kehamilan di luar nikah, kekerasan masa pacaran dan aborsi dengan obat-obatan yang beresiko tinggi.
"Data konseling kehamilan tidak dikehendaki selama 2004 menunjukkan 560 kasus reproduksi dengan proporsi usia di bawah 18 tahun mencapai 10,89 persen," kata Indana Laazulva SIP Mkes pada seminar Kesehatan Reproduksi bagi Ibu, Remaja dan Anak dalam Perspektif Gender yang diselenggarakan Pusat Studi Wanita Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), di Yogyakarta, Sabtu.
Menurut dia, sebagian remaja tersebut berusia 14 hingga 24 tahun, dan pengetahuan mereka tentang resiko melakukan hubungan seks masih rendah. "Ini karena kurangnya informasi mengenai seksualitas dan reproduksi," sambungnya.
Salah satu solusinya, yakni melalui program promotif, preventif dan kuratif, antara lain dengan pelatihan kepada remaja perempuan untuk berkata `tidak` jika diajak berhubungan seks oleh pacarnya, layanan kesehatan yang ramah dan bisa diakses secara mudah oleh para remaja, memperbaiki komunikasi antar orangtua dan anak.
Juga bisa melalui pemberian dukungan sosial, spikis dan layanan kesehatan bagi perempuan korban kehamilan tidak dikehendaki (KTD)
Kata dia, pemerintah sendiri perlu menetapkan kebijakan dalam menjalankan program tersebut, yakni dengan menyediakan pembiayaan kesehatan reproduksi remaja sesuai kesepakatan International Conference for Population and Development (ICPD) Kairo 1994 tentang hak-hak remaja.
Dalam seminar ini juga dibahas pentingnya informasi bagi para ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi bagi bayi, sehingga bayi tidak akan mengalami gangguan selama pertumbuhannya.
Dicontohkannya, salah satu penyakit karena kekurangan gizi adalah anencephaly, yakni bayi lahir dengan tidak memiliki otak, sehingga mengakibatkan kematian.
Pakar gizi anak Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta Dr Endy Paryanto P mengatakan masyarakat perlu memahami pentingnya asupan gizi untuk kesehatan bayi agar tidak mengalami resiko kesehatan dalam pertumbuhannya.
Ia mengatakan peran makanan dalam tumbuh kembang anak adalah membentuk struktur pertumbuhan otak dan menjalankan fungsi otak, yang pertumbuhannya dimulai sejak bayi masih dalam kandungan sampai usia 12 tahun.
Menurut dia, selama ini penyuluhan kesehatan belum dilakukan secara menyeluruh, sehingga masih banyak warga masyarakat yang belum tahu bahwa gizi merupakan kebutuhan utama dan penting bagi pertumbuhan bayi.
Maka, peran pemerintah, orangtua, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), institusi pendidikan serta masyarakat sangat diperlukan dalam memahami, mencegah serta cara mengatasi masalah seksualitas dan seputar kasus reproduksi itu.
Dikutip dari www.kapanlagi.com
Selengkapnya...
Di sekolah merupakan sebagian besar waktu keberadaan remaja. Kesulitan dalam hampir semua masalah hidup seringkali dimanifestasikan sebagai masalah-masalah sekolah.
Masalah-masalah sekolah selama tahun-tahun remaja kemungkinan hasil dari pemberontakan dan suatu keinginan untuk bebas. Sangat jarang, disebabkan gangguan kesehatan jiwa, seperti kegelisahan atau depresi. Penggunaan zat-zat, kekerasan dan konflik keluarga juga menjadi penyebab umum masalah-masalah sekolah. Kadangkala, penempatan akademis yang tidak sesuai-terutama sekali pada remaja yang mengalami ketidakmampuan belajar atau keterlambatan mental ringan yang tidak segera diketahui di dalam hidup-menyebabkan masalah-masalah sekolah. Umumnya, remaja dengan masalah-masalah sekolah yang signifikan harus menjalani tes pengetahuan dan evaluasi kesehatan mental. Masalah-masalah yang khusus diobati bila diperlukan, dan dukungan umum dan dorongan dilakukan.
kegagalan akademis. Masalah-masalah yang mulai terjadi di lingkungan anak-anak, seperti kurang perhatian/gangguan hiperaktif (ADHD) dan gangguan belajar, bisa berlanjut untuk menyebabkan masalah-masalah sekolah pada remaja.
Antara 1 % - 5 % remaja mengalami ketakutan memasuki sekolah. Ketakutan ini kemungkinan sama rata atau berhubungan dengan orang tertentu (seorang guru atau pelajar lain) atau peristiwa di sekolah (seperti kelas pengetahuan fisik). Remaja bisa mengalami gejala-gejala fisik, seperti sakit perut, atau bisa sederhana menolak pergi ke sekolah. Personil sekolah dan anggota keluarga harus mengidentifikasi alasannya, jika banyak, untuk rasa takut dan mendorong remaja tersebut untuk masuk sekolah.
Remaja yang sering bolos atau keluar dari sekolah telah menyadari keputusannya untuk menghindari sekolah. Remaja ini biasanya mencapai akademis yang minim dan memiliki sedikit kesuksesan atau kepuasan dari kegiatan yang berhubungan dengan sekolah. Mereka seringkali terlibat dengan tingkah laku yang beresiko tinggi, seperti melakukan seks yang tidak aman, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam keributan. Remaja dengan resiko keluar dari sekolah harus diberi perhatian pada pilihan pendidikan yang lainnya, seperti pelatihan kejuruan dan prgogram alternatif lainnya.
Selengkapnya...
Adalah sesuatu yang mustahil, melarang remaja untuk melakukan interaksi dengan lawan jenisnya. Proses interaksi yang lebih lanjut yang diwujudkan dengan berpacaran merupakan hal yang wajar dan baik bagi pengembangan aspek kematangan emosional remaja itu sendiri. Namun, harus ada rambu-rambu yang dipasang agar tidak terjadi berpacaran yang berlebihan, apalagi sampai melakukan hubungan seksual dan terjadi kehamilan yang tidak diinginkan dan pada akhirnya mengambil jalan pintas dengan menggugurkan kandungan. Untuk itu hal-hal di bawah ini perlu mendapatkan perhatian:
1. Hati – hati berpacaran
Setelah melalui fase “ketertarikan” maka mulailah pada fase saling mengenal lebih jauh alias berpacaran. Saat ini adalah saat paling tepat untuk mengenal pribadi dari masing-masing pasangan. Sayangnya, tujuan untuk mengenal pribadi lebih dekat, sering disertai aktivitas seksual yang berlebihan. Makna pengenalan pribadi berubah menjadi pelampiasan hawa nafsu dari masing-masing pasangan. Ungkapan kasih sayang tidak seharusnya diwujudkan dalam bentuk aktivitas seksual.
Saling memberi perhatian, merancang cita-cita serta membuka diri terhadap kekurangan masing-masing merupakan bagian penting dalam masa berpacaran. Aktivitas fisik seperti saling menyentuh, mengungkapkan perasaan kasih sayang, … adalah hal tidak terlalu penting, namun sering dianggap sebagai bagian yang indah dari masa berpacaran. Pada batas-batas tertentu hal ini dapat diterima, namun lebih dari aktivitas tersebut, apalagi pada hal-hal yang menjurus pada hubungan seksual tidak dapat diterima oleh norma yang kita anut. Karena justru aktivitas seksual akan mengotori makna dari pacaran itu sendiri.
2. “No Seks”
Katakan “tidak”, jika pasangan menghendaki aktivitas berpacaran melebihi batas. Terutama bagi remaja putri permintaan seks sebagai “bukti cinta”, jangan dipenuhi, karena yang paling rugi adalah pihak wanita. Ingat, sekali wanita kehilangan kegadisannya, seumur hidup ia akan menderita, karena norma yang dianut dalam masyarakat kita masih tetap mengagungkan kesucian. Berbeda dengan wanita, keperjakaan pria tidak pernah bisa dibuktikan, sementara dengan pemeriksaan dokter kandungan dapat ditentukan apakah seorang gadis masih utuh selaput daranya atau tidak.
3. “Rem Keimanan”
Iman, merupakan rem paling pakem dalam berpacaran. Justru penilaian kepribadian pasangan dapat dinilai saat berpacaran. Mereka yang menuntut hal-hal yang melanggar norma-norma yang dianut, tentunya tidak dapat diharapkan menjadi pasangan yang baik. Seandainya iapun menjadi suami atau istri kelak tentunya keinginan untuk melanggar norma-norma pun selalu ada. Untuk itu, “Say Good Bye” sajalah…! Masih banyak kok pria dan wanita yang mempunyai iman dan moral yang baik yang kelak dapat membantu keluarga bahagia.
4. Bahaya Kehamilan di Usia Muda
Kehamilan terjadi jika terjadi pertemuan sel telur pihak wanita dan spermatozoa pihak pria. Dan hal itu biasanya didahului oleh hubungan seks. Kehamilan pada remaja sering disebabkan ketidaktahuan dan tidak sadarnya remaja terhadap proses kehamilan. Bahaya kehamilan pada remaja:
Hancurnya masa depan remaja tersebut.
Remaja wanita yang terlanjur hamil akan mengalami kesulitan selama kehamilan karena jiwa dan fisiknya belum siap.
Pasangan pengantin remaja, sebagian besar diakhiri oleh perceraian (umumnya karena terpaksa kawin karena nafsu, bukan karena cinta).
Pasangan pengantin remaja sering menjadi cemoohan lingkungan sekitarnya.
Remaja wanita yang berusaha menggugurkan kandungan pada tenaga non medis (dukun, tenaga tradisional) sering mengalami kematian strategis.
Pengguguran kandungan oleh tenaga medis dilarang oleh undang-undang, kecuali indikasi medis (misalnya si ibu sakit jantung berat, sehingga kalau ia meneruskan kehamilan dapat timbul kematian). Baik yang meminta, pelakunya maupun yang mengantar dapat dihukum.
Bayi yang dilahirkan dari perkawinan remaja, sering mengalami gangguan kejiwaan saat ia dewasa.
Disamping terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki, seks yang dilakukan sebelum menikah akan mengandung berbagai masalah antara lain tuntutan suami akan keperawanan, berbagai penyakit kelamin (termasuk AIDS), stress berkepanjangan, kemandulan (karena infeksi) dan lain-lain.
5. Kiat Sadar Diri
Yang sering terjadi adalah pasangan lepas kendali karena terbuai aktivitas berpacaran. untuk itu beberapa tips agar tidak terbuai:
Niatkan bahwa tujuan berpacaran adalah untuk saling mengenal lebih dekat.
Hindari tempat yang terlalu sepi atau tempat yang mengandung aktivitas seksual.
Hindari makan makanan yang merangsang sebelum/selama pacaran.
Hindari bacaan/film porno yang merangsang sebelum/selama pacaran.
Jangan dituruti kalau pasangan menuntut aktivitas pacaran yang berlebihan, sambil mengingatkan bahwa hal itu akan mengotori tujuan dari berpacaran.
Oleh karena itu bahwa gaya pacaran yang sehat merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Gaya pacaran yang sehat mencakup berbagai unsur yaitu sebagai berikut:
Sehat Fisik.
Tidak ada kekerasan dalam berpacaran. Dilarang saling memukul, menampar ataupun menendang.
Sehat Emosional.
Hubungan terjalin dengan baik dan nyaman, saling pengertian dan keterbukaan. Harus mengenali emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Harus mampu mengungkapkan dan mengendalikan emosi dengan baik.
Sehat Sosial.
Pacaran tidak mengikat, maksudnya hubungan sosial dengan yang lain harus tetap dijaga agar tidak merasa asing di lingkungan sendiri. Tidak baik apabila seharian penuh bersama dengan pacar.
Sehat Seksual.
Dalam berpacaran kita harus saling menjaga, yaitu tidak melakukan hal-hal yang beresiko. Jangan sampai melakukan aktivitas-aktivitas yang beresiko, apalagi melakukan hubungan seks.
Hasil seminar sehari bersama dr. H. Boyke Dian Nugraha, SpOG, MARS pada peringatan hari AIDS sedunia di UWKS surabaya pada tanggal 24 Desember 2005.
Selengkapnya...
Mitos vs fakta seputar seks
Rupanya di jaman modern sekarang ini, masih ada saja yang percaya dengan mitos-mitos mengenai seks, terutama di kalangan remaja. Padahal datangnya dari mulut ke mulut dan belum tentu benar. Oleh karena itu, jangan asal percaya, apalagi dipraktekkan. Biar tuntas dan jelas, akhirnya Jurnal Bogor bertanya langsung dengan Pakar Seks and Drugs Dr. Bona Simanungkalit, DHSM, M.Kes. Berikut bocorannya:
Mitos 1:
Setiap hubungan seks untuk pertama kalinya selalu ditandai dengan keluarnya darah dari vagina.
Fakta: Tidak selalu hubungan seks yang pertama kali itu terjadi perdarahan karena banyak hal yang mempengaruhinya. Apakah ada benda yang mampu masuk dan menembus liang vagina dengan kekerasan yang cukup? Apakah masih ada hymen atau selaput dara yang utuh? Serta bagaimana elastisitas dari selaput dara tersebut? Kalau selaput daranya sangat elastis kemungkinan besar tidak akan terjadi perdarahan. Perdarahan dapat juga terjadi disebabkan jauh sebelumnya terjadi kecelakaan, sehingga selaput dara sudah robek.
Mitos 2:
Loncat-loncat setelah berhubungan seks tidak akan menyebabkan kehamilan.
Fakta: Ketika sperma sudah memasuki vagina, maka sperma akan mencari sel telur yang telah matang untuk dibuahi. Kalau terjadi pertemuan dan siap dibuahi, sudah tentu loncat-loncat tidak akan mengeluarkan sperma. Jadi, tetap ada kemungkinan untuk terjadinya pembuahan atau kehamilan.
Mitos 3:
Selaput dara yang robek berarti sudah pernah melakukan hubungan seksual atau sudah tidak perawan lagi.
Fakta: Pengertian di atas harus diluruskan. Memang selaput dara merupakan selaput elastis tipis yang dapat meregang dan robek karena beberapa hal. Selain karena melakukan hubungan seks, selaput dara juga bisa robek karena kecelakaan dalam melakukan olah raga tertentu seperti naik sepeda dan berkuda atau bisa juga karena terjatuh. Karena itu, robeknya selaput dara belum tentu karena hubungan seks. Jadi bisa saja tidak ada kaitan antara robeknya selaput dara dengan hubungan seksual
Mitos 4:
Keperawanan dapat ditebak dari cara berjalan dan bentuk pinggul.
Fakta: Keperawanan tidak bisa dilihat dari bentuk pinggul atau cara jalan. Hanya bisa diketahui melalui hasil pemeriksaan dokter. Jadi hanya dari pemeriksaan khususlah yang memungkinkan diketahuinya selaput dara robek atau tidak, serta kemungkinan penyebabnya.
Mitos 5:
Ada posisi seks yang ampuh mencegah kehamilan, misalnya sambil berdiri atau di dalam air.
Fakta: Tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa gaya di atas bisa menahan laju sperma ke saluran telur. Sebaiknya untuk mencegah kehamilan tidak usah melakukan hubungan seksual bagi yang belum berkeluarga. Kalaupun ingin, gunakan kondom, inipun hanya berlaku bagi pasangan yang telah menikah.
Mitos 6:
Hubungan seks memakai kondom itu aman.
Fakta: Aman dari kehamilan dan penyakit menular seks memang betul, asalkan nggak bocor. Masalahnya, siapa yang bisa menjamin kondom seratus persen sempurna? Jadi selalu ada kemungkinan kondom robek, bocor, atau sperma berhasil masuk karena pemakaian yang tidak pas.
Mitos 7:
Hanya saling menempelkan alat kelamin alias petting tidak akan hamil.
Fakta: Kata siapa? Keadaan di atas tidak ada yang bisa menjamin tidak akan terjadi kehamilan. Pada kenyataannya, banyak pria yang sulit mengendalikan diri waktu mendekati ejakulasi. Apalagi kalau cairan bening yang keluar dari penis saat tahap saling rangsang sebenarnya sudah tercampur sel-sel sperma yang lebih dari cukup untuk membuahi.
Mitos-mitos tersebut ternyata memang sudah hidup subur di masyarakat dan pengaruhnya masih sangat kuat, bahkan juga diantara para remaja yang justeru lagi giat-giatnya mencari informasi tentang seks dan kesehatan reproduksi. Hal itu terjadi karena tidak lengkapnya informasi tentang kesehatan reproduksi yang bisa diakses oleh remaja, baik melalui lembaga formal seperti sekolah, keluarga, atau masyarakat pada umumnya.
Jurnal Bogor, 4 September 2009 oleh jayadi
Selengkapnya...
Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa. Perkembangan seseorang dalam masa anak-anak dan remaja akan membentuk perkembangan diri orang tersebut di masa dewasa. Karena itulah bila masa anak-anak dan remaja rusak karena narkoba, maka suram atau bahkan hancurlah masa depannya.
Pada masa remaja, justru keinginan untuk mencoba-coba, mengikuti trend dan gaya hidup, serta bersenang-senang besar sekali. Walaupun semua kecenderungan itu wajar-wajar saja, tetapi hal itu bisa juga memudahkan remaja untuk terdorong menyalahgunakan narkoba. Data menunjukkan bahwa jumlah pengguna narkoba yang paling banyak adalah kelompok usia remaja.
Masalah menjadi lebih gawat lagi bila karena penggunaan narkoba, para remaja tertular dan menularkan HIV/AIDS di kalangan remaja. Hal ini telah terbukti dari pemakaian narkoba melalui jarum suntik secara bergantian. Bangsa ini akan kehilangan remaja yang sangat banyak akibat penyalahgunaan narkoba dan merebaknya HIV/AIDS. Kehilangan remaja sama dengan kehilangan sumber daya manusia bagi bangsa.
Apa yang masih bisa dilakukan?
Banyak yang masih bisa dilakukan untuk mencegah remaja menyalahgunakan narkoba dan membantu remaja yang sudah terjerumus penyalahgunaan narkoba. Ada tiga tingkat intervensi, yaitu
1. Primer, sebelum penyalahgunaan terjadi, biasanya dalam bentuk pendidikan, penyebaran informasi mengenai bahaya narkoba, pendekatan melalui keluarga, dll. Instansi pemerintah, seperti halnya BKKBN, lebih banyak berperan pada tahap intervensi ini. kegiatan dilakukan seputar pemberian informasi melalui berbagai bentuk materi KIE yang ditujukan kepada remaja langsung dan keluarga.
2. Sekunder, pada saat penggunaan sudah terjadi dan diperlukan upaya penyembuhan (treatment). Fase ini meliputi: Fase penerimaan awal (initialintake)antara 1 - 3 hari dengan melakukan pemeriksaan fisik dan mental, dan Fase detoksifikasi dan terapi komplikasi medik, antara 1 - 3 minggu untuk melakukan pengurangan ketergantungan bahan-bahan adiktif secara bertahap.
3. Tertier, yaitu upaya untuk merehabilitasi merekayang sudah memakai dan dalam proses penyembuhan. Tahap ini biasanya terdiri atas Fase stabilisasi, antara 3-12 bulan, untuk mempersiapkan pengguna kembali ke masyarakat, dan Fase sosialiasi dalam masyarakat, agar mantan penyalahguna narkoba mampu mengembangkan kehidupan yang bermakna di masyarakat. Tahap ini biasanya berupa kegiatan konseling, membuat kelompok-kelompok dukungan, mengembangkan kegiatan alternatif, dll.
Dimasa modern ini, merokok merupakan suatu pemandangan yang sangat tidak asing. Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi siperokok, namun dilain pihak dapat menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan dampak negatif bagi tubuh penghisapnya. Beberapa motivasi yang melatabelakangi seorang merokok adalah untuk mendapat pengakuan (anticipatory beliefs), untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs), dan menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permissive/ fasilitative) (Joewana, 2004). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokok yang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan didepan orang lain, terutama dilakukan didepan kelompoknya karena mereka sangat tertarik kepada kelompok sebayanya atau dengan kata lain terikat dengan kelompoknya.
PENYEBAB REMAJA MEROKOK
1. Pengaruh Orangtua.
Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia (Baer&Corado dalam Atkinson, Pengantar psikologi, 1999:294).
2. Pengaruh teman.
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja yang tidak merokok.
3. Faktor Kepribadian
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan. Namun satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial.
4. Pengaruh Iklan
Melihat iklan di media masa dan elektonik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut.